Sunday, March 30, 2014

Kehilangan: Adil Kah?

Ketika kamu tau, ini bukan lagi tentang waktu…. Tapi ketidak adilan.
Entahlah, aku merasa hidup ini sungguh tidak adil.
Misalnya saja, pernahkah kamu bertanya apa rasanya ketika seseorang mengalami musibah kebakaran? Seluruh harta bendanya habis dalam sepuluh menit saja.
Menurutmu, adil kah itu?

B A S E D   O N   T R U E   S T O R Y
“La Cinquantaine”
Waktu itu, aku baru saja lulus dari Sekolah Menengah Pertama dan memulai hari pertamaku di jenjang pendidikan yang berikutnya…
Putih abu-abu berhamparan di lapangan SMA Revolusi. Pagi ini, siswa-siswi baru telah bergabung dalam barisan. Upacara bendera hari ini adalah yang pertama bagi mereka di tingkat Sekolah Menengah Atas. Tepat setelah upacara berakhir, ruang-ruang kelas mulai terisi gelak tawa dan gerutu, koridor dihiasi lalu lalang manusia, makanan dan minuman di kantin disambar dahaga pasca pidato Kepala Sekolah yang menghabiskan waktu hingga enam puluh menit itu. Gisya segera menduduki bangku terdepan di ruang kelas X.2.
Aku menyadari kehadirannya untuk pertama kalinya…
                Bel sekolah untuk jam pelajaran pertama dimulai telah berbunyi. Namun, riuh di dalam ruang kelas tidak juga mereda. Di tengah kericuhan decitan bangku dan meja kelas serta kegaduhan orasi personal dengan masing-masing kepentingannya, terdengar suara petikan gitar samar-samar oleh telinga Gisya. Suara itu datang dari gitar yang sedang dimainkan oleh seorang laki-laki yang duduk di sudut belakang kelas.
                Anak laki-laki itu memainkan sebuah lagu klasik. Betapa aneh bagi Gisya, dalam suasana yang demikian anarkis, bagaimana mungkin ada orang yang mampu berkonsentrasi memainkan sebuah lagu yang sangat tenang, dengan tingkat kesulitan yang tinggi, dan melakukannya dengan penuh penghayatan. Namanya Fino. Dia baru saja pulang dari studi musik selama dua bulan di Jepang. Dia pendiam, pemalu, dan kurang bersosialisasi. Sangat jauh berbeda dengan Gisya yang periang dan ramah.
Setelah selama dua pekan aku mendengar petikan sayup itu bergaung lembut sekali. Aku mendahagakan pengetahuan yang lebih dari sekedar keindahan nadanya. Lagu yang dimainkan olehnya berjudul La Cinquantaine…
                Gisya mulai sering duduk di belakang untuk mendengar petikan gitar Fino dengan lebih jelas. Sampai beberapa bulan berlalu, Fino pun menyapanya.
“Suka lagu klasik?”
“Gak juga sih, gue malah baru tau lagu klasik ternyata enak didenger setelah denger lo mainin di gitar lo…”
“Oh, pantesan kayaknya lo menikmati banget. Biasanya stigma masyarakat sih lagu klasik tuh susah dan ngebosenin hahaha. Gue gak memungkiri, itu pasti dirasakan oleh sebagian besar orang.”
“Gak tau juga sih ya kalo lagu yang lain, tapi lagu yang lo mainin gue suka banget!”
Aku sadar, aku mulai membiaskan fokus. Aku bukan hanya menyukai lagunya, tetapi dia…
                Gisya kerap menghabiskan waktu menemani Fino berlatih di sebuah sekolah musik di pusat kota. Baginya, Fino bukan hanya sebuah motivasi sekolah atau hiburan di tengah kepenatan menerima materi pelajaran, tetapi juga warna dalam hidupnya yang dia yakin belum pernah dia lihat sebelumnya.
Lagu yang dimainkan olehnya ditulis oleh Jean Gabriel-Marie yang judulnya diambil dari kata dalam Bahasa Prancis, artinya “Hari Ulang Tahun Pernikahan yang ke-50 (The Golden Wedding Anniversary)”…
                Tidak terduga oleh Gisya, tahun keduanya di SMA Revolusi kembali akan dia habiskan bersama petikan gitar Fino di sudut belakang kelas.
                “Setahun gue sekelas sama lo, setahun gue denger lo main lagu yang sama setiap hari, terus gue belom tau juga kenapa lo mainin lagu itu terus…”
                “Bokap gue meninggal di Hari Ulang Tahun pernikahannya sama nyokap yang ke-50. Golden Anniversary gitu deh hehe. Lagu ini tentang 50 tahun pernikahan, Gis.”
                “I’m sorry to hear that, Fin.”
Lagunya bagus. Kata Fino, dia membawakan lagu itu persis seperti suasana yang dibuat penulisnya, bahagia. Dia gak sepaham dengan pendapat bahwa kisah kematian itu berarti sedih…
                Setiap hari yang dilalui oleh Gisya, penuh dengan cerita bersama Fino. Salah satunya, waktu Gisya dan Fino harus melakukan sebuah penelitian tentang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Mereka perlu sekitar dua puluh hari untuk pengumpulan data, karena penelitiannya dilakukan dengan mixed-method (kuantitatif dan kualitatif), sehingga mereka harus banyak berinteraksi dengan ODHA, agar menghasilkan data yang valid dan memiliki reliabilitas yang tinggi.
                Suatu hari, Fino mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah diduga oleh Gisya sebelumnya. Setelah hari itu, segalanya berubah. Bagi gisya, cerita mereka menjadi lebih indah dari sekedar menemani Fino latihan dan mendengar Fino bermain gitar di kelas, meski itu pun sudah merekah rona di wajahnya.
Perlu dua tahun baginya untuk menyadari kehadiranku dan menganggap itu istimewa. Hari setelah dia menyatakannya adalah waktu-waktu paling bahagia dalam hidupku…
                Saling bertatapan satu sama lain adalah hal yang menjadi kesukaan Gisya dan Fino. Gisya merasa hal itu membuatnya mengenal Fino dengan lebih baik, karena mengenal seseorang lewat emosinya jauh lebih berharga dibanding perilakunya. Fino memiliki alasan yang lebih sederhana. Dia merasa menatap Gisya adalah hal paling membahagiakan dan…
                “Kamu punya mata yang bagus banget, aku suka banget. Gak bakalan bosen deh aku natap kamu, bahkan sampe kita udah 50 tahun nikah! Hehehe.”
                “Dasar cowok… Makhluk visual, physical-oriented. Kalo udah seratus tahun, gimana?”
                “Tetep gak bosen dong!”
Aku tau semua tentang dia, tetapi ketika aku ditanya dia itu bagaimana, aku hanya akan menjawab dengan satu kata. Dia baik. Pernyataan ini sangat denotatif, dia betul-betul baik…
                Mereka selalu bertemu di luar sekolah sedikitnya seminggu sekali, yaitu di hari kencan universal, hari Sabtu. Fino membawakan bunga dengan warna berbeda setiap minggunya. Tidak pernah terlambat, tepat pukul tujuh malam, Fino datang menjemput Gisya. Gisya suka sekali mengenakan terusan selutut, dengan pita besar menghiasi pinggangnya. Dia tipe perempuan natural, jarang berdandan. Cukup dengan rambut tersisir rapih dan sedikit pelembab bibir.
                Mereka biasanya duduk-duduk di taman kota menikmati malam berlalu dengan perbincangan ringan, hanya untuk saling mendengar. Mereka sangat senang saling mengetahui lebih dalam dengan mendengar. Mereka jarang bertengkar, karena mereka selalu lebih terdorong untuk mendengar daripada berbicara dan mengeluarkan ego. Mereka sesekali berselisih paham, tapi yang terbaik bagi keduanya dengan cepat muncul, karena mereka mau mendengar.
Suatu malam di hari Sabtu, aku menunggunya menjemputku. Aku telah siap dengan terusan berwarna hitam dan pelembab bibir merah muda. Aku ingat dengan jelas, aku menunggunya. Sampai aku mengantuk, sebab hingga pukul satu dini hari, dia tak kunjung datang…
                Di hari-hari mendekati ujian dan berbagai problematika tahun terakhir mereka sebelum lulus, mereka mulai menggunakan waktu kencannya untuk membeli buku soal dan membahas persiapan ujian. Tetapi, itu tidak membuat mereka bosan, karena mereka sama-sama ingin sukses, dimana motivasi terkuatnya adalah mereka satu sama lain.
                “I want to build my future with you. To build a home with you, Fin.”
                Gisya mengucapkan hal itu berulang-ulang. Fino selalu mengangguk dan memeluknya tepat setelah dia mengatakannya. Selalu begitu. Bagi sebagian orang di luar mereka, tentu keseriusan ini terdengar konyol. Nyatanya, satu tahun terjalinnya hubungan mereka terus membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam menjalani hubungan itu. Hubungan yang bukan lagi didasari kebutuhan, keinginan untuk memiliki, dan kecemburuan. Melainkan, hubungan yang didasari komitmen dan konsistensi dalam membangun masa depan bersama.
Kembali kepada analogi tentang rumah kebakaran. Aku dihantam ketidakadilan yang sama. Seharusnya aku berhak menemuinya malam ini. Setidaknya mendengar ia memainkan lagu itu, di taman…
Dalam segala sesuatu yang mereka jalani, Fino kerap mengatakan, “Expect the least”. Tanpa mereka sadari, mereka tidak mengharapkan apapun dari apa yang mereka jalani, selain kebersamaan itu sendiri. Karena, itu lah entitas kebahagiaan hidup bagi mereka. Mereka tidak pernah mengucapkan satu kata itu, tetapi pasti mereka merasakannya.
Bagi mereka, kata itu terlalu abstrak untuk dikatakan. Esensi dari mengatakannya tidak pernah lebih baik dari menunjukkannya. Saling menghargai satu sama lain, saling mengisi hidup satu sama lain, saling berbagi, saling mempercayai, dan saling memahami. Itu lah nilai yang sekiranya merepresentasikan satu kata yang biasa diucapkan dalam suatu hubungan antara perempuan dan laki-laki. Mereka menumbuhkan perasaannya setiap hari, membuktikannya setiap saat mereka memiliki kesempatan untuk itu.
Mungkin, setelah malam ini, dia akan tinggal di sebuah taman yang lebih indah dari taman manapun yang pernah kita singgahi. Pagi harinya adalah bangun tidur teristimewa dalam hidupku. Aku harus tersenyum dalam duka yang mendalam atas kepergiannya…
                Gisya, dengan bibir gemetar, akhirnya mengucapkan kata itu, yang mereka tidak pernah mengerti ontologinya. Dia bersyukur atas satu kesempatan kecil di momen yang sederhana, saat orang berdatangan dengan warna gelap, Gisya menemukan bahagianya yang sunyi.
                Fino pernah bercerita, bahwa kematian bukan suatu kesedihan, karena bahagia tidak harus tertawa, berteriak, menari, dan berwarna-warni. Bahkan, dalam satu warna dan kesunyian, terdapat kebahagiaan yang penting, yaitu kesadaran akan harga suatu keberadaan di saat ketidakberadaan tiba.
Aku mengenakan gaun hitam itu, masih lengkap dengan perona bibir. Rasanya ingin marah, kali ini aku yang membawakannya bunga. Tepat di atas taburan bunga, aku mengucapkan kata itu. Semua kenangan terulang di kepalaku. Entah apa yang salah, tetapi aku mendengar dengan jelas petikan gitar, memainkan lagu klasik…

“La Ciquantaine”.

No comments:

Post a Comment