Ketika kamu tau, ini bukan lagi
tentang waktu…. Tapi ketidak adilan.
Entahlah, aku merasa hidup ini
sungguh tidak adil.
Misalnya saja, pernahkah kamu
bertanya apa rasanya ketika seseorang mengalami musibah kebakaran? Seluruh
harta bendanya habis dalam sepuluh menit saja.
Menurutmu, adil kah itu?
B A S
E D O N T R U E
S T O R Y
“La Cinquantaine”
Waktu itu, aku baru saja lulus
dari Sekolah Menengah Pertama dan memulai hari pertamaku di jenjang pendidikan
yang berikutnya…
Putih
abu-abu berhamparan di lapangan SMA Revolusi. Pagi ini, siswa-siswi baru telah
bergabung dalam barisan. Upacara bendera hari ini adalah yang pertama bagi
mereka di tingkat Sekolah Menengah Atas. Tepat setelah upacara berakhir,
ruang-ruang kelas mulai terisi gelak tawa dan gerutu, koridor dihiasi lalu
lalang manusia, makanan dan minuman di kantin disambar dahaga pasca pidato
Kepala Sekolah yang menghabiskan waktu hingga enam puluh menit itu. Gisya
segera menduduki bangku terdepan di ruang kelas X.2.
Aku
menyadari kehadirannya untuk pertama kalinya…
Bel sekolah untuk jam pelajaran
pertama dimulai telah berbunyi. Namun, riuh di dalam ruang kelas tidak juga
mereda. Di tengah kericuhan decitan bangku dan meja kelas serta kegaduhan orasi
personal dengan masing-masing kepentingannya, terdengar suara petikan gitar samar-samar
oleh telinga Gisya. Suara itu datang dari gitar yang sedang dimainkan oleh
seorang laki-laki yang duduk di sudut belakang kelas.
Anak laki-laki itu memainkan
sebuah lagu klasik. Betapa aneh bagi Gisya, dalam suasana yang demikian
anarkis, bagaimana mungkin ada orang yang mampu berkonsentrasi memainkan sebuah
lagu yang sangat tenang, dengan tingkat kesulitan yang tinggi, dan melakukannya
dengan penuh penghayatan. Namanya Fino. Dia baru saja pulang dari studi musik
selama dua bulan di Jepang. Dia pendiam, pemalu, dan kurang bersosialisasi.
Sangat jauh berbeda dengan Gisya yang periang dan ramah.
Setelah
selama dua pekan aku mendengar petikan sayup itu bergaung lembut sekali. Aku
mendahagakan pengetahuan yang lebih dari sekedar keindahan nadanya. Lagu yang
dimainkan olehnya berjudul La Cinquantaine…
Gisya mulai sering duduk di
belakang untuk mendengar petikan gitar Fino dengan lebih jelas. Sampai beberapa
bulan berlalu, Fino pun menyapanya.
“Suka
lagu klasik?”
“Gak
juga sih, gue malah baru tau lagu klasik ternyata enak didenger setelah denger
lo mainin di gitar lo…”
“Oh,
pantesan kayaknya lo menikmati banget. Biasanya stigma masyarakat sih lagu
klasik tuh susah dan ngebosenin hahaha. Gue gak memungkiri, itu pasti dirasakan
oleh sebagian besar orang.”
“Gak
tau juga sih ya kalo lagu yang lain, tapi lagu yang lo mainin gue suka banget!”
Aku
sadar, aku mulai membiaskan fokus. Aku bukan hanya menyukai lagunya, tetapi dia…
Gisya kerap menghabiskan waktu
menemani Fino berlatih di sebuah sekolah musik di pusat kota. Baginya, Fino
bukan hanya sebuah motivasi sekolah atau hiburan di tengah kepenatan menerima
materi pelajaran, tetapi juga warna dalam hidupnya yang dia yakin belum pernah
dia lihat sebelumnya.
Lagu yang dimainkan olehnya ditulis oleh
Jean Gabriel-Marie yang judulnya diambil dari kata dalam Bahasa Prancis,
artinya “Hari Ulang Tahun Pernikahan yang ke-50 (The Golden Wedding Anniversary)”…
Tidak terduga oleh Gisya, tahun
keduanya di SMA Revolusi kembali akan dia habiskan bersama petikan gitar Fino
di sudut belakang kelas.
“Setahun gue sekelas sama lo,
setahun gue denger lo main lagu yang sama setiap hari, terus gue belom tau juga
kenapa lo mainin lagu itu terus…”
“Bokap gue meninggal di Hari
Ulang Tahun pernikahannya sama nyokap yang ke-50. Golden Anniversary gitu deh hehe. Lagu ini tentang 50 tahun
pernikahan, Gis.”
“I’m sorry to hear that, Fin.”
Lagunya
bagus. Kata Fino, dia membawakan lagu itu persis seperti suasana yang dibuat
penulisnya, bahagia. Dia gak sepaham dengan pendapat bahwa kisah kematian itu
berarti sedih…
Setiap hari yang dilalui oleh
Gisya, penuh dengan cerita bersama Fino. Salah satunya, waktu Gisya dan Fino
harus melakukan sebuah penelitian tentang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Mereka perlu
sekitar dua puluh hari untuk pengumpulan data, karena penelitiannya dilakukan
dengan mixed-method (kuantitatif dan
kualitatif), sehingga mereka harus banyak berinteraksi dengan ODHA, agar menghasilkan
data yang valid dan memiliki reliabilitas yang tinggi.
Suatu hari, Fino mengungkapkan
sesuatu yang tidak pernah diduga oleh Gisya sebelumnya. Setelah hari itu,
segalanya berubah. Bagi gisya, cerita mereka menjadi lebih indah dari sekedar
menemani Fino latihan dan mendengar Fino bermain gitar di kelas, meski itu pun
sudah merekah rona di wajahnya.
Perlu
dua tahun baginya untuk menyadari kehadiranku dan menganggap itu istimewa. Hari
setelah dia menyatakannya adalah waktu-waktu paling bahagia dalam hidupku…
Saling bertatapan satu sama lain adalah
hal yang menjadi kesukaan Gisya dan Fino. Gisya merasa hal itu membuatnya
mengenal Fino dengan lebih baik, karena mengenal seseorang lewat emosinya jauh
lebih berharga dibanding perilakunya. Fino memiliki alasan yang lebih
sederhana. Dia merasa menatap Gisya adalah hal paling membahagiakan dan…
“Kamu punya mata yang bagus
banget, aku suka banget. Gak bakalan bosen deh aku natap kamu, bahkan sampe
kita udah 50 tahun nikah! Hehehe.”
“Dasar cowok… Makhluk visual, physical-oriented. Kalo udah seratus
tahun, gimana?”
“Tetep gak bosen dong!”
Aku
tau semua tentang dia, tetapi ketika aku ditanya dia itu bagaimana, aku hanya
akan menjawab dengan satu kata. Dia baik. Pernyataan ini sangat denotatif, dia
betul-betul baik…
Mereka
selalu bertemu di luar sekolah sedikitnya seminggu sekali, yaitu di hari kencan
universal, hari Sabtu. Fino membawakan bunga dengan warna berbeda setiap
minggunya. Tidak pernah terlambat, tepat pukul tujuh malam, Fino datang
menjemput Gisya. Gisya suka sekali mengenakan terusan selutut, dengan pita
besar menghiasi pinggangnya. Dia tipe perempuan natural, jarang berdandan.
Cukup dengan rambut tersisir rapih dan sedikit pelembab bibir.
Mereka biasanya duduk-duduk di
taman kota menikmati malam berlalu dengan perbincangan ringan, hanya untuk
saling mendengar. Mereka sangat senang saling mengetahui lebih dalam dengan
mendengar. Mereka jarang bertengkar, karena mereka selalu lebih terdorong untuk
mendengar daripada berbicara dan mengeluarkan ego. Mereka sesekali berselisih
paham, tapi yang terbaik bagi keduanya dengan cepat muncul, karena mereka mau
mendengar.
Suatu
malam di hari Sabtu, aku menunggunya menjemputku. Aku telah siap dengan terusan
berwarna hitam dan pelembab bibir merah muda. Aku ingat dengan jelas, aku
menunggunya. Sampai aku mengantuk, sebab hingga pukul satu dini hari, dia tak
kunjung datang…
Di hari-hari mendekati ujian dan
berbagai problematika tahun terakhir mereka sebelum lulus, mereka mulai menggunakan
waktu kencannya untuk membeli buku soal dan membahas persiapan ujian. Tetapi,
itu tidak membuat mereka bosan, karena mereka sama-sama ingin sukses, dimana
motivasi terkuatnya adalah mereka satu sama lain.
“I want to build my future with you. To build a home with you, Fin.”
Gisya mengucapkan hal itu
berulang-ulang. Fino selalu mengangguk dan memeluknya tepat setelah dia
mengatakannya. Selalu begitu. Bagi sebagian orang di luar mereka, tentu
keseriusan ini terdengar konyol. Nyatanya, satu tahun terjalinnya hubungan
mereka terus membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam menjalani
hubungan itu. Hubungan yang bukan lagi didasari kebutuhan, keinginan untuk
memiliki, dan kecemburuan. Melainkan, hubungan yang didasari komitmen dan konsistensi
dalam membangun masa depan bersama.
Kembali
kepada analogi tentang rumah kebakaran. Aku dihantam ketidakadilan yang sama.
Seharusnya aku berhak menemuinya malam ini. Setidaknya mendengar ia memainkan
lagu itu, di taman…
Dalam
segala sesuatu yang mereka jalani, Fino kerap mengatakan, “Expect the least”. Tanpa mereka sadari, mereka tidak mengharapkan
apapun dari apa yang mereka jalani, selain kebersamaan itu sendiri. Karena, itu
lah entitas kebahagiaan hidup bagi mereka. Mereka tidak pernah mengucapkan satu
kata itu, tetapi pasti mereka merasakannya.
Bagi
mereka, kata itu terlalu abstrak untuk dikatakan. Esensi dari mengatakannya
tidak pernah lebih baik dari menunjukkannya. Saling menghargai satu sama lain,
saling mengisi hidup satu sama lain, saling berbagi, saling mempercayai, dan
saling memahami. Itu lah nilai yang sekiranya merepresentasikan satu kata yang
biasa diucapkan dalam suatu hubungan antara perempuan dan laki-laki. Mereka
menumbuhkan perasaannya setiap hari, membuktikannya setiap saat mereka memiliki
kesempatan untuk itu.
Mungkin,
setelah malam ini, dia akan tinggal di sebuah taman yang lebih indah dari taman
manapun yang pernah kita singgahi. Pagi harinya adalah bangun tidur teristimewa
dalam hidupku. Aku harus tersenyum dalam duka yang mendalam atas kepergiannya…
Gisya,
dengan bibir gemetar, akhirnya mengucapkan kata itu, yang mereka tidak pernah
mengerti ontologinya. Dia bersyukur atas satu kesempatan kecil di momen yang
sederhana, saat orang berdatangan dengan warna gelap, Gisya menemukan bahagianya
yang sunyi.
Fino pernah bercerita, bahwa
kematian bukan suatu kesedihan, karena bahagia tidak harus tertawa, berteriak,
menari, dan berwarna-warni. Bahkan, dalam satu warna dan kesunyian, terdapat
kebahagiaan yang penting, yaitu kesadaran akan harga suatu keberadaan di saat
ketidakberadaan tiba.
Aku
mengenakan gaun hitam itu, masih lengkap dengan perona bibir. Rasanya ingin
marah, kali ini aku yang membawakannya bunga. Tepat di atas taburan bunga, aku
mengucapkan kata itu. Semua kenangan terulang di kepalaku. Entah apa yang
salah, tetapi aku mendengar dengan jelas petikan gitar, memainkan lagu klasik…
“La
Ciquantaine”.