Thursday, February 6, 2014

JELANG PEMILU 2014: Perlukah Kita Memilih?

Indonesia kerap memperkenalkan dirinya sebagai negara demokratis. Kata demokratis sendiri berarti bersifat demokrasi, yaitu bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah melalui perantaraan wakilnya atau sederhananya, pemerintahan oleh rakyat. Maka, dalam jalannya pemerintahan yang demokratis ini, terdapat dua pihak yang harus terintegrasi dengan baik dan bersifat kooperatif dalam sistem, yaitu pemerintah dan rakyatnya. Dari hal ini, segala sesuatu terkait kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (wakil rakyat) harus merupakan perwujudan aspirasi rakyat yang merepresentasikan kepentingan kolektif. Mengacu kepada konsep ini, partisipasi rakyat yang diperlukan dalam jalannya pemerintahan tentu sangat besar. Salah satunya adalah ketika berlangsungnya pemilihan umum (pemilu), baik pemilihan presiden dan wakil presiden, maupun pemilihan legislatif.

Kesepahaman terhadap konsep negara demokratis ini tampaknya perlu disuarakan. Kerap kali anggota masyarakat berpikir, "Saya kan hanya satu orang di tengah 250 juta warga negara ini, pengaruh apa sih suara saya dalam pemilu?", mungkin hal ini dapat dibenarkan kalau memang hanya dia seorang yang berpikir demikian. Namun, apa faktanya? Sejak pemilu langsung perdana, pada tahun 2004 lalu, telah terdapat sejumlah besar golong masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Dari 153.357.307 Daftar Pemilih Tetap, terdapat 23,34% atau 35.793.595 orang yang tidak memilih. Kemudian, pada pemilu langsung berikutnya, tahun 2009, presentasenya naik. Yaitu, dari 172.359.420 Daftar Pemilih Tetap, terdapat 39,99% atau 68.926.532 orang yang tidak memilih. Hal ini membuktikan, betapa besar pengaruhnya keputusan seorang anggota masyarakat untuk turut memilih atau tidak dalam pemilu.

Fakta yang cukup mencengangkan, selain jumlah golput yang fantastis adalah bahwa jumlah suara yang tidak memilih melebihi jumlah suara perolehan partai pemenang (pemilu legislatif). Pada tahun 2009, Partai Demokrat hanya memperoleh suara sebanyak 20,85% atau 35.936.939 orang, dimana selisihnya dengan yang tidak memilih sebanyak 32.989.593 orang. Maka, muncul pertanyaan baru. Apakah pemerintahan ini adalah pilihan rakyat? Lalu, apakah betul ini adalah 'pemerintahan oleh rakyat'? Jelas hal ini dapat terjawab dengan fenomena ketidakstabilan politik di negara ini yang tampak dari permasalahan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Masyarakat cenderung apatis dalam mengawasi jalannya pemerintahan, karena merasa wakil mereka yang berwenang memberikan definisi situasi dan kepastian hukum dalam negara ini tidak ada bedanya dengan orang asing. Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan intinya. Masyarakat perlu lebih berpartisipasi politis, dari hal yang paling sederhana, tetapi berpengaruh cukup signifikan, yaitu menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa peran pengawasan sebagai bentuk keberlanjutan dalam berpartisipasi politis juga sangatlah penting. Pengorbanan yang sebenarnya demi kepentingan bersama bukanlah pada lima menit yang kita pergunakan di TPS (Tempat Pemungutan Suara), tetapi pada lima tahun setelahnya, dimana kita sebagai yang telah memilih mereka untuk menjadi wakil kita (dalam pemerintahan), berhak penuh mengawasi segala unsur kinerja pemerintah. Ketika masyarakat berpikir dua kali atau tiga kali lagi untuk berpartisipasi dalam negara demokratis ini, pikirkanlah: Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial warga negara di suatu negara seutuhnya dipengaruhi oleh setiap keputusan pemerintah (dalam hal ini, sebagai wakil mereka).

No comments:

Post a Comment