Wednesday, July 3, 2013

Adalah sebuah cerita tentang persahabatan, persaingan, perjuangan, dan pengorbanan...

“Menapak, Membangun Jati Diri”
Jam menunjuk tepat pukul 06.00 pagi. Alarm berbunyi tepat di sebelah telingaku. Kutekan tombol ‘off’, lalu perlahan-lahan kelopak mataku turun menyelimuti mataku. Akan tetapi, baru sejenak terpejam kudengar suara yang sangat kencang meneriakan namaku. Tepat sekali. Mama.
Aku melonjak dari tempat tidurku, kuraih handuk, dan bergegas menuju kamar mandi. Selagi aku mandi, mama sibuk mengoceh dari luar kamar mandi, menasihatiku soal kedisplinan dan tanggungjawab. Aku mengabaikan.
“Aku sudah tau tentang semua yang Mama katakan”, ujarku dalam hati.
Setelah melewati beribu aral melintang, seperti ocehan Mama, kemacetan Cinere yang sudah tidak dapat ditolerir lagi, berjalan kaki dari pasar Pondok Labu, tibalah aku pada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa sampai di sekolah, di depan gerbang SMP Negeri 85 Jakarta.
”Bea, sekali lagi kamu telat, saya panggil orangtua kamu!”, ujar bu Lani, guru IPS yang selalu mengawasi anak-anak yang terlambat.
“Iya, Bu”, aku mengiyakan saja, sebatas formalitas, secara dia sudah mengatakan itu beribu-ribu kali.
Aku pikir hari ini akan jadi hari yang biasa saja, sampai waktu istirahat berakhir. Seorang guru IPS bernama pak Donovan masuk ke ruang kelasku, kelas 8-1.
“Anak-anak, ada sedikit pengumuman, dimohon perhatiannya sebentar…”, ujarnya.
Serempak anak-anak duduk rapih di bangku masing-masing dan menyendengkan telinga mereka.
“Jadi begini, pagi ini sekolah kita baru saja menerima surat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, atau LIPI, tentang lomba diselenggarakan oleh mereka setiap tahunnya, yaitu Lomba Karya Ilmiah Siswa (KIS) tingkat Kotamdya Jakarta Selatan. Bapak kesini sekedar menginformasikan, bahwa keterangan selengkapnya dapat kalian baca di mading sekolah kita. Sekian dari Bapak. Wassalamualaikum warrahmatullahi wabbarokatuh”, ujar pak Donovan yang lekas pergi meninggalkan kelas kami.
Sejak saat itu, pikiranku terus tertuju pada perlombaan itu. Aku memang tipe orang yang ‘Experience A Holic’ (maniak pengalaman), tidak baik untukku melewatkan begitu saja sebuah kompetisi bergengsi semacam itu.
Keesokan harinya, aku bangun kesiangan seperti biasanya, mendengar pidato harian Mama, terlambat datang ke sekolah, mendapat pesan yang sama dari bu Lani, dan yang lain-lainnya seperti biasanya. Ya, seperti biasanya.
Bel istirahat berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar kelas masing-masing, memadati setiap koridor dan meluncur ke kantin. Sedangkan aku? Sibuk memikirkan perlombaan itu. Aku pun bergegas menuju mading sekolah, hendak mencari informasi seputar lomba itu.
“… beranggotakan empat orang … karya paling lambat diterima panitia tanggal 20 November 2008 …” (membaca dalam hati).
Spontan aku langsung memikirkan siapa saja yang akan kurekrut. Terlintas tiga nama di pikiranku, teman sekelasku di kelas 7, yaitu Tere, Ifa, dan Saskia. Kami bersahabat dalam persaingan. Kami adalah empat pelajar maniak nilai gede ranking kecil. Saat kenaikan kelas 7 ke kelas 8, kami menduduki 4 besar kelas. Aku tidak ingin membuang waktu untuk berpikir lebih panjang lag. Aku telah memutuskan. Kuhubungi mereka dan menyusun rencana.
“Kita sama-sama tahu kemampuan kita, kalo kita bersatu, memenangkan permainan ini tidak akan jadi hal yang sulit”, ujarku menyeringai.
“Iya iya, betul sekali”, ujar Tere yang juga menyeringai.
Ifa dan Saskia hanya tersenyum.
Kami mulai dengan membentuk formasi. Aku sebagai ketua, Tere sebagai pengurus administrasi, Saskia sebagai juru ketik, dan Ifa sebagai anggota. Kami pun memutar otak mencari ide pokok tulisan kami, atau setidaknya, sebut saja topik kajian kami.
Esok harinya, aku terlambat lagi, dan semua berjalan seperti biasanya. Tetapi, kali ini ada sederet daftar orator baru, yaitu Tere dan Saskia, dengan Ifa sebagai time-keeper.
“Be! Kita janji jam 6 ya! ….. (dan seterusnya)”, ujar Saskia.
“Kita nunggu 1 jam, Be! ..... (dan seterusnya)”, ujar Tere.
“Udahlah, kita memperdebatkan masalah ini tuh gak ada gunanya. Jadi sia-sia
kita ijin satu jam pelajaran. Mending kita langsung kerja aja”, ujar Ifa.
“Bener tuh kata Ifa”, ujarku sambil menguap.
Kami berempat pun bergerak menuju kantin. Di sepanjang perjalanan menuju kantin, melewati koridor-koridor sekolah, aku masih jadi pendengar setia dua orator muda yang sedang berpidato dengan berapi-api. Tiba di kantin. Mencari tempat duduk. Hanya tampak beberapa guru yang sedang tidak mengajar sedang asik berbincang sambil meneguk secangkir kopi.
“Kita punya kurang dari dua bulan untuk menyelesaikannya”, Saskia berkata sambil menulis-nulis sesuatu di selembar kertas.
“Ya, dan dari sekitar empat puluh hari itu, kita gak punya duapuluh empat jam dari setiap harinya”, Tere menambahkan sambil menatap kami satu-persatu.
“Boro-boro duapuluh empat jam, paling kita cuma punya sekitar empat jam, bahkan kurang”, kataku dengan setengah suara, secara masih ngantuk berat.
“IYA! Dan kalo lo telat satu jam setiap harinya, kita bakal rugi tujuh dari duapuluh satu jam yang kita punya!”, ujar Tere dan Saskia saling menimpali.
“Gak gitu dong, kan kita pake jam sekolah cuma satu dari tujuh hari dalam seminggu. Berarti kalo gue telat sejam, ya kita cuma rugi satu dari empat jam”, ujarku membela diri.
“Sabtu? Minggu? Gimana?”, tanya Saskia mendebat.
“Ya …”, belum sempat aku menjawab, sang time-keeper langsung menengahi.
Sambil tersenyum Ifa berkata, “Kita harus berhenti membahas hal-hal di luar karya kita. Sebenernya kita mau gimana sih? Kita gak fokus deh”.
“Bener tuh kata Ifa. Harusnya, berapa menit pun yang kita punya, kita gunain buat kerja, bukan debat. Yang berlalu biarlah berlalu”, kataku.
Saskia sigap menatapku geram, sedangkan Tere hanya memasang wajah flat-face (tak berekspresi).
Aku memulai perbincangan agak serius, ”Oke, gue nemu ide tentang topik yang bakal kita bawain untuk karya kita …”
Kami pun sepakat dan memulai semuanya. Lebih tepatnya memulai perdebatan. Perdebatan pertama membahas tentang jadwal penelitian.
“Yaudahlah! Kalo hari ini belum ketemu kata mufakat, kita lanjut besok aja!”, salam penutup perdebatan hari itu dariku.
Seminggu berlalu begitu saja tanpa membuahkan apa-apa. Di setiap jam istirahat, pak Donovan selalu tampak sibuk mengomentari kerangka tulisan kelompok lain. Sedangkan kelompokku? Belum menorehkan segores tinta pun pada kertas kami. Kami mulai membenahi semuanya, membulatkan tekad kami.
Malam itu, sebelum tidur, aku berdoa khusus untuk perlombaan itu. Terutama aku berharap kami bisa sedikit mengurangi egois kami masing-masing. Selesai berdoa, kubuka buku harianku, dan kutulis:
Karena gue udah dilatih untuk menang dan dipersiapkan untuk kalah, gue gak pernah takut menghadapi kompetisi apa pun.
Hidup adalah sebuah kompetisi.
05.00, 15 September 2008. Pagi cerah yang menggemparkan seisi rumahku.
“Kenapa, Ma? Ngeliat Bea kayak ngeliat hantu?”, tanyaku heran.
“Kayaknya hari ini matahari bakal terbit dari barat”, jawab Mama.
Aku hanya menatap Mama dengan wajah tak berekspresi.
“Katanya kamu mau lomba? Kok Mama gak liat ada gejala-gejala persiapan lomba dari kemaren?”, tanya Mama.
“Hari ini baru mau bener- bener mulai”, jawabku.
“Jangan pernah biarkan kesombongan merasuki diri kamu dan menyelubungi tekadmu”, ujar Mama agak ngelantur, melenceng jauh dari haluan pembicaraan.
Aku spontan menatap Mama, mengerutkan kening, memicingkan mata, diam, memasang wajah tidak mengerti.
Lalu aku kembali ke ekspresi normal dan berkata, “Kayaknya bukan cuma matahari terbit dari barat deh, Ma. Tapi, bulan dan bintang juga bakal terbit di siang bolong nih”.
Tepat pukul 06.00. Tiba di sekolah. Tere, Ifa, dan Saskia menyambut hangat kedatanganku.
“Kita mulai nyusun pertanyaan wawancara aja hari ini”, kataku membuka pembicaraan.
“Setuju”, kata Saskia.
Hari itu berjalan seperti biasanya. Sepulang sekolah, aku mulai mengerjakan latar belakang penulisan. Aku baru bisa bernapas lega saat jarum jam menunjuk tepat pukul 11.00 malam. Sudah bisa tidur? Belum. PR-PR menantiku. Satu setengah jam kemudian, baru aku bisa masuk ke kamar dan beristirahat.
Malam itu, sebelum tidur, aku berdoa khusus untuk wawancara-wawancara yang akan kami lakukan. Selesai berdoa, kubuka buku harianku, kutulis:
F aksi = F reaksi. Segala usaha berbanding lurus dengan hasil. Usaha yang setengah-setengah hanya akan membuahkan hasil yang setengah-setengah juga.
Alarmku berbunyi, aku langsung membuka mataku dan segera mandi. Mama tampak senang dengan perubahanku. Aku sarapan dan lekas pergi menuju sekolah.
“Sas, gue udah buat nih latar belakangnya. Nanti lo ketik ya!”, ujarku kepada Saskia.
“Sip, be!”, jawab Saskia sambil tersenyum.
Kami mulai lagi melanjutkan menyusun pertanyaaan wawancara. Lalu, bel masuk berbunyi.
“Kita lanjut nanti siang ya”, aku berkata sambil membereskan alat tulisku.
Waktu berjalan cepat sekali. Bel pulang berbunyi. Aku bergegas menuju kelas 8-2 memanggil Tere. Setelah itu, aku dan Tere naik ke lantai 3 ke kelas 8-5 memanggil Saskia. Lalu, kami bertiga ke kelas 8-8 memanggil Ifa. Panggil-memanggil seperti itu adalah antisipasi agar tidak ada yang sempat ngerumpi dulu. Kantin masih sangat ramai. Kami putuskan mencari koridor kosong dan duduk lesehan. Kami terus menyusun dan memperbaiki lembaran-lembaran kuesioner kami. Tidak terasa sudah tiga jam kami mengerjakannya, hari sudah senja, kami pun memutuskan untuk pulang.
Tiba di rumah bukan berarti tiba waktu bersantai. Aku harus menyelesaikan bab pertama karya kami. Setelah itu, mengerjakan PR. Esok harinya, kuberikan kepada Saskia bagian-bagian pendahuluan setelah latar belakang. Waktu sekolah berlalu seperti biasanya dan setelah bel pulang, kami kembali berkumpul, lalu mencari koridor kosong, dan duduk lesehan.
“Liat deh anak-anak lain, balik sekolah bisa santai nongkrong di kantin”, kata Saskia sambil menatap anak-anak yang berjalan ke arah kantin.
“Iya! Malah anak-anak gaul tuh habis haha-hihi di kantin pada pergi lagi ke Mall. Kita?!”, Tere menambahkan.
Aku dan Ifa hanya diam sambil mendiskusikan kuesioner kami –yang sudah empat hari belum jadi-jadi juga- beserta target-target wawancara.
Malam itu, sebelum tidur, aku berdoa khusus untuk semangat timku dalam mengikuti perlombaan ini. Selesai berdoa, kubuka buku harianku, kutulis:
Masa muda hendaknya tidak menjadi masa yang sia-sia.
Berhati-hati pada masa ini adalah satu keharusan, karena masa muda adalah masa tersingkat dengan kerusakan terberat.
Di sekolah, pada jam istirahat, aku, Tere, Saskia, dan Ifa menemui pak Donovan untuk melihat bab pertama karya kami.
Halaman pertama …
“Manfaat Penggunaan Teknologi Transportasi Bagi Masyarakat Luas serta Dampaknya Terhadap Lingkungan”
Halaman kedua … Ketiga … Dan seterusnya.
“Objeknya?”, tanya pak Donovan.
“KRL dan Metromini, serta masyarakat terkait, pak”, jawabku.
“Oke. Lanjutkan pekerjaan kalian”, ujarnya.
Setelah mendapat coretan-coretan dari pak Donovan, kertas kami pun kami bawa kembali untuk perbaikan-perbaikan.
Hari-hari terus berjalan begitu. Dengan perbaikan-perbaikan di setiap harinya. Selama masih ada coretan dari pak Donovan, berarti tulisan itu harus diulang.
Minggu, 28 September 2008. Jadwal wawancara tahap satu tiba. Kami berkumpul di sekolah tepat pukul 08.00. Lalu, kami berjalan dari sekolah menuju ke pasar dan menaiki salah satu angkutan perkotaan (angkot) disitu menuju pangkalan Metromini 619. Kami mulai dengan mengambil tempat duduk persis di sebelah sopir. Sudah setengah perjalanan, kami masih diam, tidak tahu cara memulainya.
“Be, lo aja buru ngomong”, kata Tere.
“Aduh gue gak bisa mulainya. Gatau gue harus ngomong apa”, jawabku.
“Eh udah buruan! Ini udah mau sampe Blok-M!”, kata Saskia.
“Yaudah deh gue aja”, kata Tere.
Tere segera mengambil ancang-ancang dengan Ifa di sebelahnya sebagai notulen.
Wawancara berjalan kurang mulus. Selalu disela dengan “Apa? Apa? Ulangin, gak kedengeran” dari keduabelah pihak.
“Gila ya wawancara sopir susah banget!”, kata Tere.
“Kenapa, ter?”, tanya Saskia sambil membaca catatan Ifa.
“Begonya gak ketolongan! Gue tanya apa dia jawab apa”, jawab Tere.
“Ya kalo pinter gak bakalan jadi sopir Metromini”, aku menimpali.
“Eh tapi lumayan kok, Ter. Seenggaknya dia inget terakhir kali peremajaan kapan. Padahal kan dia udah tua”, kata Ifa.
Aku, Tere, dan Saskia hanya menatap Ifa dengan wajah flat-face.
Kami pun naik lagi Metromini 619 dari terminal Blok-M. Kali ini, kami harus mewawancarai penumpangnya.
“Gantian ya jangan gue lagi”, kata Tere.
“Udah lo aja, be. Ketua masa gak bisa ngomong”, kata Saskia.
“Iya iya!”, ujarku.
Aku dan Ifa segera memilih penumpang yang hendak kami jadikan salah satu responden.
“Maaf tante, boleh kami wawancarai?”, tanyaku kepada seorang wanita berpakaian dinas pertanda ia seorang PNS.
Dia malah melambaikan tangan sambil memalingkan wajahnya seakan-akan kami pengamen.
“Apaan banget sih dia! Emang gue minta duit apa?!”, gerutuku kesal.
“Udah, be cari yang lain aja yuk”, kata Ifa.
Beberapa kali kami direspon begitu. Seharian kami bolak-balik Blok-M-Cinere hanya dapat lima responden penumpang dan enam responden sopir.
Pukul 06.00 sore kami duduk-duduk di salah satu warung di pinggir jalan.
“Sehari ini gue baru minum satu kali. Good!”, ujarku.
“Untung jadwal wawancara kita Cuma setiap hari Minggu. Kalo tiap hari?! Bisa mati dehidrasi”, kata Saskia.
“Mati dehidrasi sama mati kesel gara-gara respondennya gak karuan semua”, Tere menambahkan.
Kami pun tertawa kecil. Seharian di jalan, bertemu banyak orang, membuatku banyak merenung. Merenungkan masa depan.
Malam itu, sebelum tidur, aku berdoa khusus untuk minggu-minggu ke depan, untuk saat-saat timku menyusun karya kami. Selesai berdoa, kubuka buku harianku, kutulis:
Karena kesejatian seseorang tidak pernah dilihat dari fisik atau materinya.
Tetapi, dari setiap pilihan hidupnya.
Pagi itu aku merasa agak kurang enak badan, pasti karena kelelahan seminggu lalu setiap hari dari pagi sampai sore, belum lagi kemarinnya seharian di jalan.
“Sas, nih bab duanya”, kataku sambil menyodorkan beberapa lembar kertas kepada Saskia.
“Kajian pustaka? Kapan ngerjainnya, Be? Cepet lo gokil”, kata Saskia.
“Haha selow kalo sama gue sih”, ujarku.
Seminggu itu berlalu dengan menemui pak Donovan di setiap harinya. Seperti biasa, minta coret-coretan. Saskia pasti bekerja keras sekali meng-edit semuanya setiap malam.
Minggu, 5 Oktober 2008. Wawancara Metromini 610 jurusan Blok-M-Pondok Labu.
“Kayak minggu lalu aja, gantian”, kata Saskia.
“Oke. Eh, tapi hari ini yang sopir lo ya, Be, gue yang penumpang. Biar ngerasain lo rasanya ngobrol di sebelah mesin metro”, ujar Tere.
“HAHAHA iya iya, Ter, selow”, ujarku.
Wawancara hari itu berjalan lebih baik. Kami mulai memahami orang-orang itu. Sekitar jam setengah tujuh malam, kami menaiki Metromini ke-8 dari Blok-M ke Pondok Labu untuk segera pulang. Kami duduk di sebelah sopir seperti sebelum-sebelumnya dan melakukan wawancara terakhir pada hari itu. Saat melewati Rumah Sakit Fatmawati, penumpang yang ada tinggal kami dengan beberapa orang pria yang duduk berjauhan. Yang satu memakai headset, tampak seperti anak kuliahan, yang satu lagi memakai seragam PNS, yang satu lagi memakai kemeja lengan panjang lengkap dengan dasi, tampak seperti pegawai kantoran, dan yang satunya lagi memakai kaos dan celana basket.
Tiba-tiba pak Syarif (sopir) berbisik, “Dek, jangan keluarin barang berharga ya. Terus turunnya cari tempat ramai”.
Kami berempat spontan bingung plus kaget plus bertanya-tanya.
Lalu, pak Syarif melanjutkan omongannya, “Yang di belakang itu pencopet semua, dek. Pencopet dan penjahat kelamin”.
Berhubung diantara kami tidak ada yang IQ-nya jongkok, dengar omongan begitu tidak ada yang panik, semua reflek acting tenang dan pasang muka tidak tahu-menahu.
“Eh gue masih perawan ya”, tiba-tiba Tere berbisik.
“Gue juga”, kataku.
“Gak ada mukanya semua yang di belakang, Be”, kata Tere.
“Gila kali ya sempet-sempetnya lo berpikir buat diperawanin sama PK. Kalo PK gaul masih mending deh, ini PK metro, brur”, ujarku sambil rolling-eyes (memutar mata).
Tere hanya tertawa-tawa geli.
“Ketauan lo ABG binal, ngarep PK gaul merawanin”, ujarnya.
Aku langsung pasang muka flat-face.
Berjarak beberapa meter dari Rumah Sakit Fatmawati ada polisi lalulintas sedang melakukan razia. Kami langsung turun dan berbisik mengucapkan terimakasih kepada pak Syarif. Syukurlah kami selamat dari bahaya.
Minggu-minggu berlalu dengan terus memperbaiki karya kami dan melakukan wawancara setiap hari Minggu.
“Akhirnya, list wawancara kita selesai”, ujarku seraya turun dari KRL di stasiun di Pasar Minggu. Setelah seharian berkeliling sampai ke Gambir dan sebagainya.
“Abis ini kita masih harus ngolah hasil wawancaranya. Belum lagi nyusun bab tiganya”, kata Tere.
“Oh iya! Gue baru ngeh, kita masih harus bikin tabel analisis data! Susah tuh lumayan”, ujarku.
“Yaudah kita kerjain aja dengan senang hati”, ujar Ifa.
20 Oktober 2008, kami menyerahkan karya kami untuk selanjutnya mendapat coretan-coretan dari pak Donovan.
“Banyak yang harus dibenahi nih, Be”, kata Saskia.
“Iya. Manalagi nyokap gue mulai ngoceh soal gue balik sore tiap hari. Padahal jelas-jelas buat lomba!”, ujarku.
“Kita kelarin. Kita menangin. Kita sumpel mulut nyokap-nyokap pake piala”, kata Tere.
Aku dan Tere serempak menyeringai, sedang Saskia dan Ifa hanya tersenyum.
Pukul 18.30 aku baru tiba di rumah. Mama melakukan pidato malam. Pidato pagi tampaknya kini tidak cukup untuknya. Aku masuk kamar dan mengabaikannya. Seperti biasa. Aku merasa sudah tahu semua yang Mama katakan.
Malam itu, sebelum tidur, aku berdoa khusus untuk Mama, supaya ia mengerti bahwa aku sudah besar. Selesai berdoa, kubuka buku harianku, kutulis:
Terkadang, orangtua hanya tidak cukup mengerti jaman telah berubah.
Tetapi, tidak baik menyakiti hatinya dengan mengatakan itu.
Setelah berkali-kali melewati proses editing, pada tanggal 17 November 2008 kami menyerahkan karya kami untuk dikirimkan kepada panitia. Malam harinya, aku merenungkan tentang Mama. Aku tahu sangat berat menjadi seorang single-parent untuk 11 tahun bahkan mungkin selamanya. Berjuang seorang diri menghidupi ketiga anak perempuannya. Tetapi, aku melakukan sesuatu yang sulit pasti untuk membuat Mama bangga. Hanya demi mengukir senyum kecil ditengah kesulitan hidupnya. Mama telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk kebahagiaanku dan adik-adikku, aku tidak akan membuang sedetik pun hidupku tanpa berjuang meniti kebahagiaan Mama di hari tuanya. Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku hanya mau mencari ayahku saat aku sudah sukses, dan hanya jika aku sukses.
Aku berdoa dan menulis di buku harianku:
Kepahitan hidup dan kegetiran hati adalah kekuatan dan motivasi untuk mencapai keberhasilan hidup. Darimanapun air mengalir, akan berujung di samudera. Setiap manusia lahir dengan keberhasilan masing-masing, tinggal bagaimana dia menemukan caranya.
Senin, 29 November 2008. Surat panggilan presentasi datang kepada dua dari empat tim dari sekolahku. Salah satunya, tim kami. Hari-hari berlalu dengan pulang jam 8 malam setiap harinya demi menyusun presentasi.
Tanggal 6 Desember 2008, kami datang ke tempat pelaksanaan tahap presentasi. Kami adalah satu dari 40 tim yang berlomba di jalur IPS. Setiap tim diwakili oleh satu orang untuk mempresentasikan karyanya.
Ketika presentasi, aku ditatap oleh 4 juri dari LIPI yang bergelar professor, ditambah dengan puluhan peserta yang pasti anak-anak cerdas. Rasa minder kerap menyelimutiku, tetapi aku terus mengingat motivasiku, latar belakang aku mengikuti perlombaan-perlombaan selama ini. Aku juga tidak akan menyia-nyiakan tiga bulan ini pergi pagi pulang petang dengan melakukan kebodohan karena gugup.
Setelah presentasi, dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab dengan keempat juri yang ada. Setelah sesi tanya-jawab selesai, kami dipersilahkan duduk.
“Kita cabut aja yuk keluar, daripada kita down ngeliatin yang lain”, kata Tere.
Aku, Ifa, dan Saskia setuju.
Pukul 16.00 perlombaan selesai. Lalu, juri masuk ke dalam ruang penjurian. Detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam berlalu. Kami menanti pengumuman pemenang. Tidak ada tanda-tanda juri telah selesai bermusyawarah. Waktu terasa begitu lama, tidak seperti biasanya.
Pukul 20.30 juri keluar dengan surat keputusannya. Pengumuman pemenang tidak berlangsung bertele-tele, mengingat hari sudah sangat larut.
“Yakin gak lo?”, ujar Tere.
“50-50 (fifty- fifty)”, jawab Saskia.
“Berdoa aja, ikhlasin apapun hasilnya”, kata Ifa.
Aku hanya terdiam, mengingat semua pengorbanan kami.
Juara harapan 2, harapan 1, juara 1 sudah terlewati. Belum ada panggilan untuk kami. Lalu, juara 2.
Lalu, “Dari SMP Negeri 85 Jakarta, sebagai juara ke-3, dengan judul Manfaat Penggunaan Teknologi Transportasi Bagi Masyarakat Luas serta Dampaknya Terhadap Lingkungan”, ujar pembaca surat keputusan juri.
Kami berempat hanya tersenyum kecil mewakili kepuasan besar dalam hati.
Malam itu, aku berdoa khusus mengucap syukur atas kemenangan kami. Selesai berdoa, kubuka buku harianku, kutulis:
Kesuksesan seseorang tidak pernah sebanding jika dinilai dengan sebuah piala. Buatku, pengalaman dalam usaha meraihnya jauh lebih berharga daripada hari dimana aku mendapatkannya.
Esok harinya di sekolahku ada pengumuman tentang perlombaan lagi. Aku, Ifa, Tere, dan Saskia menyeringai berbarengan membaca informasi selengkapnya di mading sekolah kami. Sebuah kompetisi matematika.
“Permainan baru”, ujar Tere.
Aku, Ifa, dan Saskia menyeringai.
Malam itu kutulis dalam buku harianku:
Kesempatan tidak datang hanya satu kali.
Tetapi, hidup ini terlalu singkat untuk menunggu yang kedua.
Di halaman terakhir buku harianku, kutulis:
Bersama Tere, Ifa, dan Saskia …
Menapak, MEMBANGUN JATI DIRI.

No comments:

Post a Comment